Tidak Munafik
Sifat munafik, membagus-baguskan tutur kata untuk mendapatkan pujian orang suka membual dan berdusta, merupakan sifat yang jauh dari pribadi muslim. Islam sangat mencela sifat seperti itu.
Diriwayatkan, ketika bani Amir yang menghadap rasul mengucapkan kata-kata yang mengandung penuh pujian, yaitu, “Anda adalah sayyid (tuan) kami yang terhormat.” Maka nabi mengatakan, “As-Sayid itu Allah.” Mereka mengatakan, “Anda adalah sangat mulia dan agung.” Maka nabi berkata, “Berkatalah dengan kata-kata yang wajar atau seperlunya saja dan janganlah kalian sampai diperdayakan sungguh aku tak menginginkan kalian menyanjung-nyanjungku di atas kedudukan yang telah diberikan Allah. Bagiku. Saya, Muhammad bin Abdullah, hamba-Nya dan rasul-Nya.” (Hayatush Shahabah III/99).
Rasulullah saw berusaha mematahkan jalan para pembuat kata pujian yang senang memuji-muji orang lain di luar batas, beliau sangat melaranag seseorang memuji-muji orang lain secara berlebihan, sampai mengagungkannya. Beliau tahu bahwa jika kata sanjungan itu sampai kepada yang dipujinya, maka akan ada peluang timbulnya penyakit nifak, kekotoran hati dan lunturnya kesucian ruh islam pada dirinya. Abu Bakar ra menceritakan:
Seseorang telah memuji orang lain di samping rasulullah saw, maka beliau berkata, “Celaka kamu! Kamu telah memotong leher temanmu.” Diulanginya perkataan itu sampai tiga kali. Kemudian beliau bersabda, “Siapa saja di antara kamu yang senang menyanjung-nyanjung saudaranya maka jangan ragu katakan kepadanya, ‘Apa kamu tahu tentang si fulan sebenarnya? Allah lah yang mencukupi hal ini dan tidak seorang pun yang lebih suci. Mengapa kamu mengira begini dan begitu, padahal ia mengetahui bahwa semua itu dari Allah.’” (HR. Asy-Syaikhon dan Abu Daud.)
Dari Raja’ dari Mihjan Al-Aslamy ra, diceritakan bahwa rasulullah saw dan Mihjan berada di masjid. Ketika itu rasul melihat seorang laki-laki yang tengah melakukan salat, sujud dan rukuk. Maka beliau bertanya kepada Mihjan, “Siapa dia?” ia menjawab dengan kira-kira, “Dia si fulan.” Seraya disebutkan kehebatan-kehebatann lelaki itu. Maka rasulullah berkata, “Jangan teruskan! Cukup, jangan sampai dia mendengarnya. Saya khawatir itu akan merusak niatnya.” (HR. Ahmad).
Di dalam riwayat Ahmad yang lain disebutkan bahwa Mihjan berkata, “Wahai nabiyullah, ini fulan sebaik-baik penduduk Madinah.” Atau berkata, “Yang paling banyak ibadah salatnya dari penduduk Madinah.” Rasulullah berkata kepadanya, “Jangan sampai ia mendengarnya, nanti akan merusaknya.” Diulangnya sampai dua atau tiga kali. Kemudian dilanjutkannya. “Kalian adalah umat yang bijak, dikehendaki kemudahan (bukan kesulitan).”
Bahkan rasulullah saw menganjurkan para sahabatnya untuk menaburkan tanah kepada orang yang suka menyanjung-nyanjung orang lain secara berlebihan, agar kebiasaan seperti itu tidak membudaya di dalam masyarakat Islam. Perbuatan itu hanya akan menebarkan benih-benih penyakit nifak, sehingga mendatangkan bala / ujian dan fitnah.
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori, Muslim dan Ahmad bahwa ada seseorang memuji salah seorang pemimpin. Maka seorang sahabat menyiramkan muka orang itu dengan tanah seraya berkata bahwa rasulullah saw telah bersabda, “Jika ada di antara kalian masuk ke dalam golongan para penyanjung. Maka taburkanlah tanah ke muka mereka.”
Para sahabat sangat menyadari bahaya dari kata-kata dan perbuatan yang banyak mengandung pujian. Mereka berusaha menghindari dan menyelamatkan diri dari bahaya dan fitnah kemunafikan. Sifat nifak merupakan penjegal seorang hamba yang ingin menuju Allah, hamba yang ikhlas dan mengharap kecintaan Khaliq.
Ibnu Umar menceritakan bahwa sekelompok orang telah berkata kepadanya, “Sesungguhnya kami termassuk penguasa-penguasa di golongan kami, maka kami katakan kepada mereka tentang kebiasaan mereka, seperti apa yang pernah kami katakana ketika kami dari sisi mereka.” Maka berkata Ibnu Umar –tentang hal itu-, “Kami menggolongkannya sebagai perbuatan nifak pada jaman rasulullah saw.” (HR. Bukhari).
Dikutip dari: DR. Muhammad Ali Hasyimi; Apakah Anda Berkepribadian Muslim?; Gema Insani Press