Bekerja Untuk Kepentingan Umat dan Menjauhi Keburukan
Seorang muslim yang terdidik oleh petunjuk islam dan jiwanya dibekali niat suci, selalu bekerja untuk kemaslahatan orang banyak dan menolak gangguan dari mereka. Hal seperti itu telah menjadi prinsip kebenaran, kebajikan dan keutamaan yang pada gilirannya dapat membangun aktivitas produktif. Ia sadar bahwa perbuatan yang baik itu akan mengantarkannya kepada kemenangan.
Wahai orang-orang yang beriman, rukuklah kamu, sujudlah kamu, sembahlah Tuhanmu dan perbuatlah kebajikan, supaya kamu mendapat kemenangan. (QS. Al-Hajj: 77).
Ia selalu berusaha melakukan perbuatan yang baik, percaya akan pahala Allah di dalam setiap langkah menuju amal kebaikan.
Setiap hari terbit matahari, berbuat ishlah di antara dua orang yang bertikai secara adil adalah sedekah, mengucapkan kalimat toyyibah (yang baik menurut agama) adalah sedekah, setiap langkah dalam perjalanan menuju tempat salat juga sedekah, menghilangkan gangguan dari jalan juga termasuk sedekah. (Muttafaq Alaih).
Dalam hal kebaikan, tidak terdapat beda antara urusan dunia maupun akhirat, asal itu membawa ishlah (kebaikan) bagi urusan manusia, pribadi seseorang maupun seluruh masyarakat, di dunia maupun di akhirat. Tidak ada perbedaan antara agama dan dunia, antara kehidupan masyarakat secara fisik dan kehidupan ruhiah. Menurut islam, setiap amalan seorang muslim yang berdasarkan petunjuk syariat termasuk ibadah.
Jabir ra meriwayatkan bahwa rasulullah saw bersabda, “Setiap kebaikan adalah sedekah.” (HR. Bukhori).
Sesungguhnya rahmat Allah akan selalu tercurah kepada orang yang berbuat baik, ikhlas semata karena-Nya.
Abu Musa ra meriwayatakan:
“Nabi saw bersabda, “Pada diri setiap muslim terdapat sedekah.” Saya bertanya, “Bagaimana jika tidak dapat ya rasulullah.?” Rasul berkata, “Berbuat dengan kedua tangannya sekedar bermanfaat untuk dirinya sendiri itu juga sedekah.” Saya bertanya, “Bagaimana kalau itu juga tidak bisa?” Rasulullah menjawab, “Menolong orang yang sedang berduka sesuai hajatnya.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana jika tidak bisa juga?” Jawab beliau, “Menyuruh yang makruf dan berbuat kebajikan.” Saya bertanya lagi, “Bagaimana jika tidak dapat?” Rasulullah menjawab,, “Menghindari perbuatan jahat, itu juga sedekah.” (Muttafaq Alaih).
Kalimat di atas yang menyatakan, “Pada diri setiap muslim terdapat sedekah.”, sungguh sangat mempermudah kita untuk berbuat kebaikan yang dapat dikategorikan sedekah. “Al-Birri, Al-Khoir atau Al-Makruf”, semuanya itu dapat mendatangkan sedekah. Bahkan jika seorang muslim sudah tidak mampu melakukan bentuk-bentuk kebaikan itu dengan tangan (kerja fisik), maka dapat melakukan amalan lisan, seperti mencegah atau menjauhkan dari mengucapkan kata-kata buruk dan mencegah hatinya untuk berbuat jahat, ini juga termasuk sedekah.
Dalam hadit yang diriwayatkan oleh Bukhori. Rasulullah saw bersabda, “Seorang muslim adalah yang dapat memberi jaminan kepada muslim lainnya untuk tidak terganggu oleh lisan dan tangannya.”
Bahkan rasulullah menganggap sebaik-baik kaum muslimin dalam masyarakat islam, adalah mereka yang bisa diharapkan kebaikannya dan bisa diamankan sifat jahatnya.
Diriwayatkan oleh Imam Ahmad, “Rasulullah bersabda, “Maukah kalian aku beritahukan kebaikan kalian daripada kejahatan kalian?” semua orang yang berada di majelis itu diam, sehingga beliau mengulanginya sampai tiga kali. Lalu salah seorang berkata, “Mau, ya rasulullah.” Kemudian beliau bersabda, “Kebaikan kalian adalah jika kebaikannya bisa diharapkan dan kejahatannya bisa diamannkan, sejahat-jahat kalian adalah jika kebaikanya bisa diharapakan akan tetapi kejahataannya tidak bisa dihindarkan.” (HR. Ahmad).
Sesungguhnya seorang muslim tidak berbuat untuk masyarakatnya, kecuali yang baik-baik, maka jika dia tidak mampu berbuat demikian lebih baik menaha diri, atau berusaha untuk tidak mengganggu. Seorang muslim yng benar adalah yang selalu berbuat kebaikan, tidak berpihak kepada kejahatan.
Rasulullah saw bersabda;
Barangsiapa yang pagi-pagi sudah mendahulukan dunia, maka tak sesuatu pun yang bisa diharapkannya dari Allah. Barangsiapa yang tak peduli dengan urusan kaum muslimin, maka bukan termasuk golongan kaum muslimin. (HR. Muslim, dari Ibnu Mas’ud, di dalam Al-Mustadrak).
Memperdulikan urusan umat islam berarti bekerja keras dan bersungguh-sungguh memberi manfaat buat mereka dan menolak gangguan dari mereka, atau memberikan sesuatu yang dapat bermanfaat kepada sesama muslim di dalam masyarakat islam, ikut aktif membangun dan melayani saudaranya sesuai dengan hajatnya. Rasulullah bersabda:
Tidak putus-putusnya Allah dalam memenuhi hajat hamba-Nya yang selalu memperhatikan hajat saudaranya (karena Allah). (HR. Tabrani).
Dalam hadits yang lain:
Setiap muslim adalah saudara bagi muslim lainnya. Tidak diperbolehkan seorang muslim menganiaya saudaranya juga tidak boleh menghinanya. Barangsiapa memberikan pertolongan/memenuhi hajat keperluannya, maka Allah pun akan memenuhi dan menyelesaikan hajatnya. Barangsiapa yang memberikan kemudahan dan kelapangan bagi seorang muslim yang sedang kesusahan, pasti Allah akan melapangkan kesusahannya di hari kiamat. (Muttafaq Alaih).
Berkata Abu Hurairah bahwa nabi saw bersabda, “Barangsiapa melepaskan seorang muslim dari kesusahan-kesusahan dunia, niscaya Allah akan melepaskan segala kesusahannya di akhirat. Barangsiapa memberikan kelonggaran kepada seseorang yang mengalami kesusahan, niscaya Allah akan memberikan kelonggaran baginya di dunia dan akhirat. Barangsiapa menutup rahasia atau aib seorang muslim niscaya Allah akan menutup kekurangannya di dunia dan akhirat. Allah menolong seseorang selama ia menolong saudaranya.” (HR. Muslim).
Petunjuk nabi sangat menjunjung tinggi semangat gotong royong di dalam masyarakat islam, beliau menegaskan bahwa membantu keperluan saudaranya karena Allah, lebih baik daripada iktikaf sepanjang waktu.
Ibnu Abbas ra meriwayatkan bahwa nabi bersabda,
“Barangsiapa yang melapangkan untuk memenuhi hajat saudaranya (karena Allah), itu adalah lebih baik baginya daripada ia mengerjakan i’tikaf sepuluh tahun. Barangsiapa beri’tikaf satu hari semata-mata mengharap ridho Allah, maka Allah menjadikan antara ia dan api neraka sejauh tiga parit, setiap parit lebih jauh jaraknya antara barat dan timur.” (HR. Tabrani di dalam Ausath).
Orang yang merasa jemu untuk melayani orang lain, padahal ada kemampuan, sama saja dengan menghindari kenikmatan, sebagaimana dinyatakan dalam sebuah hadits yang dikeluarkan oleh Ibnu Abbas ra, rasulullah saw bersabda;
“Siapa saja dari hamba Allah yang telah diberikan-Nya kenikmatan kepadanya, bahkan menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya itu, kemudian kepadanya dijadikan berbagai keperluan hajat orang lain lalu ia merasa jemu/menolak, maka dia menyebabkann hilangnya kenikmatan itu.” (HR. Tabrani dalam Ausath).
Secara tersirat pada hadits shahih tergambarlah, bagi ahli surga suatu gambaran tentang seorang lelaki yang bergelimang kenikmatan di surga, disebabkan karena menyingkirkan pohon tumbang yang menghalangi jalan kaum muslimin.
Sabda nabi saw;
“Sungguh aku telah melihat seorang lelaki berada dalam surga karena soal pohon/ranting yang menjadi penghalang jalan yang dapat mengganggu kaum muslimin.” (HR. Muslim).
Sesungguhnya menolak/menyingkirkan gangguan dari kaum muslimin merupakan sosok lain bentuk kebaikan dari berbagai jenis amalan yang memberi manfaat bagi mereka. Menjauhkan kaum muslimin dari gangguan dan kesusahan adalah seperti halnya orang yang mengerjakan kebaikan dan manfaat bagi mereka. Keduanya membawa manfaat bagi kaum muslimin dan menjadikan turunnya pahala, selamat dan keridhaan Allah.
Jadi, mendahulukan kemanfaatan dan mencegah kemudaratan adalah sama nilainya, keduanya harus selalu dihidupkan di dalam masyarakat. Mengenai hal mencegah bahaya atau sesuatu yang mendatangkan madarat bagi kaum muslimin, Abu Bazzah telah bertanya kepada nabi saw;
“Wahai nabi, ajarilah aku sesuatu yang membawa manfaat.” Jawab nabi, “Singkirkanlah gangguan yang dapat menghalangi kelancaran perjalanan kaum muslimin.” (HR. Muslim).
Masyarakat mana yang lebih indah dari masyarakat islam, memberikan banyak peluang bagi setiap indiviidu untuk mengerjakan amal-amal kebajikan yang dapat mendekatkan dirinya kepada Khaliknya, memasukkannya ke dalam surga, walau hanya sekedar menyingkirkan gangguan yang bisa menghalangi orang berjalan.
Masyarakat mana yang lebih mulia daripada masyarakat muslim yang padanya hidup bimbingan edukatif yang bernilai tinggi bagi ketenangan jiwa setiap orang muslim.
Sungguh besar perbedaan antara masyarakat yang dituntun oleh hidayah islam dari masyarakat yang “lari”dari petunjuk Allah. Pada masyarakat yang pertama, menyingkirkan gangguan dari jalan didasarkan atas perintah Allah. Sedangkan pada masyarakat kedua yang tidak mengindahkan petunjuk ilahi itu, masing-masing pribadinya tidak banyak memperhatikan hal-hal yang bisa menjatuhkan keutamaan mereka dan meruntuhkan kehormatan mereka.
Dalam masyarakat barat yang materialistis, faktor dominan dalam menciptakann masyarakat yang teratur adalah menyuruh pribadi-pribadinya untuk menghormati undang-undang dan melaksanakan serta mematuhinya dengan konsekuen.
Oleh karena itu tingkatan masyarakat yang tinggi menurut paham barat tetap saja di bawah tingkatan masyarakat islam. Itu merupakan sebab pribadi muslim yang terdidik oleh hokum-hukum islam dan selalu berusaha mewujudkan masyarakat yang adil, teratur dan mulia.
Bukan saja karena konsekuen terhadap undang-undang, tapi karena keikhlasan dan keyakinannya bahwa keluar dari aturan undang-undang merupakan perbuatan maksiat kepada Allah, bahkan akan berakibat fatal bagi dirinya di suatu hari di mana tak berarti lagi harta dan anak kecuali yang ikhlas. Sedangkan pada masyarakat barat tidak dikenal adanya dosa dan maksiat sehingga meninggalkan perintah atau melanggar undang-undang merupakan perbuatan lumrah.
Dikutip dari: DR. Muhammad Ali Hasyimi; Apakah Anda Berkepribadian Muslim?; Gema Insani Press